Pentingnya Evaluasi dan Revisi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan HIV di Tempat Kerja

Stigma dan diskriminasi pekerja dengan HIV masih banyak terjadi. Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jayakarta dan Task Force Jakarta Pusat, banyak pekerja dengan HIV yang dipaksa mengundurkan diri setelah Perusahaan mengetahui mengenai status HIV mereka.  Pihak perusahaan mengancam akan menyebarkan informasi mengenai status kesehatan pekerja dengan HIV tersebut, bila tidak mau mengundurkan diri. Karena takut mengalami stigma dan diskriminasi oleh rekan kerjanya, banyak Pekerja dengan HIV Kemudian lebih mengundurkan diri dibandingkan bertahan di perusahaan. Dampak diskriminasi ditempat kerja terhadap pekerja dengan HIV berakibat banyak pekerja menyembunyikan status HIV, pekerja tidak memperoleh akses pemeriksaan dan pengobatan, memperburuk perjalanan penyakit dan berakibat kematian atau mengalami PHK karena alasan Kesehatan.

Berbagai bentuk stigma dan diskriminasi ditempat kerja pada pekerja dengan HIV umumnya dilakukan dengan berbagai cara. Melalui Tindakan diskriminasi secara langsung, dimana pemberi kerja memperlakukan pekerja dengan HIV lebih buruk daripada pekerja lain. Diskriminasi tidak langsung dimana pemberi kerja menerapkan peraturan di tempat kerja yang merugikan pekerja dengan HIV. Diskriminatif asosiatif ketika adanya diskriminasi karena ia berhubungan dengan pekerja dengan HIV. Pelecehan dimana terdapat tindakan ofensif atau intimidatif yang dimaksudkan untuk membuat pekerja dengan HIV di tempat kerja menjadi sulit atau tidak dapat dipertahankan. Perlakuan tidak adil terhadap pekerja dengan HIV yang telah mengajukan keluhan tentang pelecehan di tempat kerja.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah ODHIV mayoritas ditemui pada usia produktif yakni 65,5% pada usia 25 – 49 tahun dan 16,1% untuk usia 20 – 24 tahun. Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Tenaga Kerja memandang bahwasanya HIV/AIDS saat ini di Indonesia bukan hanya menjadi masalah Kesehatan akan tetapi juga menjadi masalah dunia kerja yang berdampak pada produktivitas dan profitabilitas Perusahaan. Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68.Men/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja yang didalamnya memuat:

  1. Pengembangan kebijakan tentang upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Tempat kerja yang dapat dituangkan dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama
  2. Pengkomunikasian kebijakan dengan cara menyebarluaskan informasi dan menyelenggarakan Pendidikan dan pelatihan
  3. Pemberian perlindungan kepada pekerja/buruh dengan HIV dari tindak dan perlakuaan diskriminatif
  4. Penerapan prosedur keselamatan dan Kesehatan kerja khusus untuk pencegahan dan penanggulangan HIV sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar yang berlaku

International Labor Organisation (ILO) menyatakan bahwa HIV memiliki dampak serius terhadap masyarakat dan ekonomi, terhadap dunia kerja baik di sektor formal maupun sektor informal, terhadap pekerja, keluarga dan orang-orang yang ditanggungnya, terhadap organisasi pengusaha dan organisasi pekerja dan terhadap Perusahaan publik dan swasta dan meruntuhkan pencapaiaan kerja layak dan pembangunan berkelanjutan. ILO Menegaskan langkah-langkah untuk mengatasi HIV dan AIDS di dunia kerja harus menjadi bagian dari kebijakan dan program pembangunan, termasuk kebijakan dan program yang terkait dengan ketenagakerjaan, pendidikan, jaminan sosial dan kesehatan. ILO telah membuat rekomendasi mengenai HIV dan AIDS dan dunia kerja, 2010 (No.200). Rekomendasi ILO No.200 merupakan standar ketenagakerjaan internasional pertama tentang HIV/AIDS dan memberikan landasan yang kuat untuk pengembangan kebijakan dan program tempat kerja yang efektif dan responsif gender mengenai HIV/AIDS.

International Labor Organization dalam rekomendasi nomor 200 Tentang HIV dan AIDS di Dunia Kerja memberikan rekomendasi terkait dengan upaya pencegahan diskriminasi, promosi persamaan kesempatan dan perlakuan antara lain:

  1. Pemerintah melakukan konsultasi dengan Organisasi Perusahaan dan Organisasi Pekerja harus memberikan perlindungan untuk mencegah diskriminasi berdasarkan status HIV yang nyata atau yang diduga
  2. Status HIV yang nyata atau yang diduga tidak boleh menjadi dasar diskriminasi yang mencegah perekrutan atau kelangsungan pekerjaan, atau pencarian kesempatan yang sama
  3. Status HIV yang nyata atau yang diduga tidak boleh menjadi sebab pemutusan hubungan kerja;
  4. Ketidakhadiran sementara karena sakit atau kegiatan-kegiatan perawatan terkait dengan HIV dan AIDS harus diperlakukan secara sama dengan ketidakhadiran karena alasan Kesehatan lain;
  5. Orang yang hidup dengan HIV tidak boleh ditolak atas kemungkinan melanjutkan pekerjaan mereka, dengan pemberian akomodasi yang layak bila diperlukan
  6. Bila Langkah-langkah anti diskriminasi di tempat kerja yang ada tidak memadai untuk perlindungan efektif terhadap diskriminasi terkait dengan HIV dan AIDS, para Anggota harus menyesuaikan Langkah-langkah tersebut atau membuat Langkah-langkah baru dan menetapkan implementasi Langkah-langkah tersebut yang efektif dan transparan;

Mengingat masih banyaknya temuan stigma dan diskriminasi terhadap pekerja dengan HIV ditempat kerja, maka Pemerintah, Asosiasi Perusahaan Indonesia dan Serikat Pekerja untuk :

Melakukan Evaluasi dan Revisi Terhadap Kebijakan Tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV di Tempat Kerja. Penting untuk dilakukan evaluasi dan revisi terkait dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68 Men/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Evaluasi dan revisi harus disesuaikan dengan program-program terbaru pemerintah dalam upaya melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV /AIDS dan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan rekomendasi ILO mengenai HIV dan AIDS dan dunia kerja, 2010 (No.200)

Memaksimalkan Peran Pengawasan dan Pemberian Sanksi. Keputusan Menteri No. 68.Men/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja minim terhadap pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak Perusahaan yang masih melakukan stigma dan diskriminasi terhadap pekerja dengan HIV, hal ini menjadikan kebijakan terkait dengan pencegahan dan penanggulangan yang ada saat ini masih dianggap beban oleh Perusahaan dan diabaikan

oleh pihak Perusahaan karena tidak ada efek jera bagi Perusahaan yang melakukan stigma dan diskriminasi terhadap pekerja dengan HIV.

Memperkuat Pengembangan Kapasitas yang Sensitif HIV di Tempat Kerja. Penguatan kapasitas terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV tidak hanya dibebankan kepada pemerintah namun juga pengurus perusahaan, asosiasi pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan LSM yang bekerja dalam bidang HIV/AIDS untuk mengembangkan program pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja.

Mempromosikan Kebijakan Non-Stigma dan Diskriminasi Terkait dengan HIV /AIDS. Perlu adanya fasilitasi program pencegahan kesadaran HIV/AIDS di tempat kerja melalui beberapa kegiatan seperti seminar, pengembangan kampanye media (informasi, Pendidikan, materi komunikasi) untuk memperkuat pemahaham terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan HIV ditempat kerja;

Memperluas Layanan HIV di Tempat Kerja dan Akses yang Setara Bagi Kelompok Rentan Terhadap Pekerjaan: Mendorong peningkatan fasilitas layanan HIV di tempat kerja dengan memberikan konseling dan tes sukarela di tempat kerja (VCT). Pembentukan kemitraan antara Perusahaan, organisasi serikat pekerja, kantor pemerintah daerah, Komisi AIDS Provinsi/Kabupaten, layanan Kesehatan masyarakat dan komunitas orang-orang yang hidup dengan HIV dan LSM yang bekerja untuk isu HIV/AIDS.

Meningkatkan koordinasi dan kemitraan di antara para pemangku kepentingan terkait kemajuan, data berbasis bukti (fakta) dan advokasi: Melakukan studi dan tinjauan terkait dengan HIV pada masalah-masalah di tempat kerja dan perlindungan sosial bagi orang yang hidup dengan HIV. Memfasilitasi kelompok kerja antara pemerintah, asosiasi Perusahaan dan serikat pekerja tentang HIV di tempat kerja guna memantau kemajuan program pencegahan HIV di tempat kerja

Kepala Empat

Empat puluh tahun yang lalu, Tepatnya dini hari pada 1 Juli 1982 bertempat di RS Ibu dan Anak Muahamadiyah dekat Taman Puring, ada seorang Ibu yang sedang bertarung nyawa untuk melahirkan buah hatinya. Para perawat yang saat itu sedang asik menonton serial CHIPS yang saat itu sedang viral dan sang ayah yang sedang mempersiapkan seragamnya untuk dipakai upacara hari kepolisian, harus menghentikan aktifitasnya dan membantu proses persalinan. Tidak tanggung-tanggung bayi yang dilahirkan hampir mencapai 4 KG dan persalinan itu dilakukan secara normal. Cerita itu terus disampaikan oleh Ibuku untuk mengingatkan moment-moment terhebat dirinya dalam melahirkan saya. Sebagai seorang anak yang mendapatkan limpahan kasih sayang, perhatian, bimbingan, dukungan dan hal positif lainya, saya sangat-sangat berterimakasih kepada kedua orang tua saya.

Berbeda dengan penambahan usia-usia sebelumnya, menginjakan kaki di usia empat puluh tahun ini membawa dampak psikologis dan fisik pada diri saya. Secara fisik menginjak usia 40 sepertinya kita sudah harus selektif dan menjaga pola hidup dengan baik, semoga kebiasan-kebiasaan buruk dapat dikurangi dan ditinggalkan. Secara psikologis kita dituntut lebih sabar, bijaksana dan harus lebih menghargai hidup. Semoga menginjak usia empat puluh, kita menjadi semakin lebih bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan alam.

Hanya di India (Film) Kemampuan Bernyanyi Dapat Mempengaruhi Putusan Hakim

Film India terkenal dengan nyanyiannya, namun bila yang anda bayangkan nyanyian itu penuh dengan tarian dan hiburan sebagaimana dalam film india anda mungkin akan kecewa ketika menyaksikan film Jolly LLB (2013). Pada salah satu scenenya digambarkan seorang hakim sedang menyidangkan perkara dimana ada dua belah pihak yang saling mengklaim menciptakan sebuah lagu, masing-masing pengacara mengajukan bukti CD rekaman suara klien mereka. Para pengacara meminta hakim untuk mendengarkan rekaman suara agar hakim dapat memutuskan klien mereka adalah orang yang berhak atas lagu tersebut.

Hakim mendengarkan permintaan para pengacara beranggapan hal tersebut seperti lelucon dengan mengatakan “hei apa yang terjadi disini, saya memiliki 29 kasus yang perlu disidangkan hari ini, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan kau ingin aku dengar musikmu”. Hakim kemudian memerintahkan para pihak yang berperkara untuk langsung bernyanyi. Kesempatan pertama diberikan kepada pihak yang digugat (Tergugat) untuk menyanyikan satu bait dan hakim terkesan dengan suaranya, kesempatan kedua hakim meminta Penggugat untuk bernyanyi namun Penggugat tidak bisa menyanyikan, pengacara Penggugat yang melihat kliennya tidak bisa bernyanyi, kemudian langsung menggantikan kliennya bernyanyi walaupun hakim sepertinya ingin menolak. Hakim juga memuji kemampuan pengacara Penggugat dalam bernyanyi yang dibalas dengan promosi dari pengacara yang menyatakan dia juga membentuk band dan bernyanyi diberbagai event.

Scene tersebut terpotong tanpa tau siapa yang memenangkan perkara tersebut, karena itu bukan dari inti dari kisah film tersebut. Namun dari scene tersebut kita dapat melihat bagaimana Hakim tidak ingin berlama-lama dalam memeriksa suatu kasus dan mengambil terobosan dengan cara meminta Penggugat dan Tergugat untuk bernyanyi untuk mengetahui siapakah pihak yang membuat lagu tersebut. Film Jolly LLB (2013) bercerita tentang praktek Public Interest Litigation, yang akan saya bahas dalam tulisan saya yang lain

Perubahan Kebijakan Narkotika Harus Segera Dilakukan !

Pada saat dilakukan peluncuran program P4GN[1] pada Juni 2011, BNN menargetkan Indonesia Bebas Narkotika pada tahun 2015[2], namun pada akhir tahun 2014 BNN menyatakan Indonesia darurat Narkotika[3]. Pada tahun tahun selanjutnya hingga saat ini Kamapanye Indonesia darurat narkoba terus menerus digalakan tanpa ada pihak yang peduli kenapa dahulu Pemerintah menargetkan Indonesia akan bebas narkotika pada tahun 2015, namun pada akhir tahun 2014 langsung menyatakan Indonesia darurat narkotika.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan ketika melakukan pendampingan kasus dan melakukan advokasi kebijakan narkotika, salah satu kendala mengatasi permasalahan narkotika, bukan hanya terletak pada perangkatnya dan budaya masyarakat, namun juga pada tingkat pengaturannya UU Narkotika memiliki permasalahan, hal ini dapat dilihat dari

  1. UU Narkotika tidak bisa membedakan antara pengguna narkotika dengan pengedar narkotika;
  1. Secara konsep UU Narkotika memasukan pengguna narkotika kedalam peredaran narkotika yang perlu diberantas

Mengacu pada tujuannya, UU Narkotika bertujuan untuk “Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi Penyalahguna dan Pecandu Narkotika”[4]. Secara tujuan UU Narkotika berkesan membedakan antara pelaku peredaran gelap narkotika dengan pengguna narkotika, namun bila mengacu pada konsep peredaran gelap narkotika didalam UU Narkotika disebutkan “Peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika”[5]. Mengacu pada pengertian Peredaran Gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika lebih ditekankan pada tindakan yang ditatapkan sebagai tindak pidana dalam UU Narkotika, termasuk didalamnya adalah penyalahguna narkotika yang merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika;

  • Penyalahguna narkotika dihalang-halangi untuk mendapatkan hak rehabiliasi dengan memasukan pengertian korban penyalahgunaan narkotika[6]

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, UU Narkotika bertujuan untuk menjamin pengaturan rehabilitasi kepada para pecandu dan penyalahguna narkotia. Pada pengaturan tentang hak rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 54, menghilangkan penyalahguna dan mengganti korban penyalahguna narkotika, dengan arti dan konsep yang berbeda. Tanpa adanya jaminan kepastian penyalahguna mendapatkan rehabilitasi, secara  tidak langsung UU Narkotika menempatkan pengguna narkotika sebagai pelaku perdagangan gelap narkotika yang perlu diberantas.

  • Pengguna narkotika didakwakan dengan pasal perdagangan gelap narkotika dengan pemberian hukuman yang tidak sesuai dengan perbuatanya.

Sebagai seorang pengguna narkotika, untuk menggunakan narkotika sebelumnya harus mendapatkan narkotika baik dengan cara membeli, menaman atau menerima narkotika, kemudian narkotika tersebut dibawa dalam penguasaanya, memiliki, atau menyimpan nakotika baru kemudian menggunakan narkotika. Pada umumnya pengguna narkotika ditangkap sebelum menggunakan narkotika, dakwaan penuntut umum yang digunakan adalah Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 114 ayat (1), karena ditemukan barang bukti berupa narkotika bukan tanaman dikantong Terdakwa dan berdasarkan keterangan Terdakwa narkotika tersebut diperoleh dengan cara membeli sebesar Rp….. kepada si Fulan (DPO). Aparat penegak hukum dan hakim yang memeriksa perkara tidak lagi melihat tujuan dari pembeliaan, penguasaan, pemilikan atau menyimpan narkotika, karena dalam ketentuan tersebut tidak dimasukan unsur kesengajaan.

  • UU Narkotika bermaksud memasukan semua jenis zat berbahaya kedalam golongan narkotika;

Sebelum disahkannya UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, beberapa zat yang masuk kategori amphetamin diatur didalam UU Psikotropika kemudian dimasukan kedalam golongan I narkotika.[7] . Dapak terbesar dari penyatuan golongan tersebut menimbulkan kesulitan penanganan dalam bidang kesehatan jenis zat narkotika opiate berbeda penangannya dengan jenis zat amfetamin karena dampaknya berbeda. Penyatuan golongan mengakibatkan masyarakat tidak bisa membedakan mana yang narkotika dan psikotropika.

  • Minimnya pengaturan pola kerjasama instansi dalam mengatasi permasalahan narkotika.

Sejak Indonesia mengatur narkotika dalam peraturan perundangan-undangan, narkotika selalu dimasukan kedalam ranah kesehatan, hal ini dapat dilihat dari menteri yang bertanggung jawab dalam mengatasi permasalahan narkotika adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan[8]. Narkotika merupakan permasalahan tata kelola pembuatan dan pendistribusian hal tersebut dibawah kendali atau control dari Menteri Kesehatan sebagaimana disebutkan sejak Pasal 9 sampai dengan Pasal 63. Selain menteri kesehatan UU Narkotika memasukan Badan Narkotika Nasional yang melakukan pencegahan dan pemberantasan. BNN diberikan kewenangan melakukan penyidikan dan berbagai upaya paksa yang erat hubungannya dengan kerja-kerja penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Terkait dengan masalah rehabilitasi, UU Narkotika memasukan Kementerian Sosial. Setidaknya ada 7 instansi yang mengurusi masalah narkotika. UU Narkotika tidak secara jelas dan terang mengatur pola kerjasamanlintas instansi, saat ini BNN mengambil posisi dominan namun hal tersebut kurang didukung oleh instansi lainya.

Perubahan UU Narkotika, Suatu Momentum Perubahan Kebaikan atau Kegagalan ?

Sejak pemerintah mencanangkan Indonesia darurat narkotika, parlement memasukan Revisi UU Narkotika kedalam Program Legislatif Nasional periode 2015 – 2019. Pada awalnya inisiatif perubahan ada pada DPR, namun pada perkembangannya, DPR menyerahkan iniasisi perubahan kepada pemerintah. Saat ini BNN yang mengambil alih penyusunan naskah akademik dan RUU Narkotika. Sampai saat ini belum terdapat informasi jelas mengenai arah perubahan UU Narkotika. Melihat perubahan-perubahan kebijakan narkotika sejak UU No 9 Tahun 1976 sampai dengan UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak banyak perubahan yakni lebih dominan menggunakan pendekatan pemidanaan khususnya untuk mengontrol penggunaan narkotika, dengan menambahkan varian-varian.

Pendekatan kriminalisasi memiliki dampak terusan yang buruk. Pengguna narkotika yang sebelumnya produktif bekerja akan kehilangan pekerjaan dan sulit mendapatkan pekerjaan ketika mendapatkan cap kriminal. Kriminalisasi terhadap pengguna berdampak pada overkapasitas diempat penahanan, dan menjamurnya penggunaan narkotika didalam lembaga pemasyarakatan.

Salah satu yang perlu diwaspadai adalah perubahan inisiatif penyusunan naskah akademik dan RUU Narkotika dari parlement kepada eksekutif, yakni pada umumnya regulasi yang diusulkan eksekutif lebih bertujuan untuk meningkatkan kewenangan dan meminimalisir adanya pengawasan. Pada pertengahan tahun 2016, muncul wacana BNN akan menjadi setingkat kementerian dan upaya BNN mendapatkan dana cepat melalui tindak pidana pencucian uang, sedangkan untuk isu pengguna narkotika berpotensi tidak ada perubahan.

Pada revisi RKUHP, pemerintah memasukan ketentuan tindak pidana narkotika kedalam RKUHP.  Pasal 507 – Pasal 525 RKUHP diambil secara mentah-mentah dari tindak pidana narkotika didalam UU Narkotika. Apabila ketentuan tersebut disahkan oleh DPR, maka dapat dipastikan hal tersebut akan membawa dampak buruk bagi pengguna narkotia. Aparat penegak hukum tidak akan memahami esensial kebijakan narkotika bila hanya membaca KUHP. Permasalahan kebijakan narkotika diperparah dengan tetap dilanggengkannya penerapan rehabilitasi sebagai suatu pidana tambahan dan bukan pidana alternative, artinya seroang pengguna narkotika yang harusnya mendapatkan rehabilitasi harus menjalani hukuman terlebih dahulu baru bisa mendapatkan rehabilitasi.

Dengan pertimbangan Indonesia memiliki 5,9 juta pengguna narkotika[9] dan permasalahan overkapasitas ditempat penahanan Indonesia membutuhkan segera perubahan dalam kebijakan narkotika, khususnya terkait :

  1. Perlu adanya evaluasi dan restrategi dari penerapan kebijakan perang terhadap narkotika dengan melihat dampak positif dan negative bagi pengguna narkotika, pemerintah harus membuka diri atas tawaran alternative perang terhadap narkotika sebagaimana yang banyak diterapkan;
  2. Harus adanya pemisahan yang jelas antara pengguna dan pengedar narkotika, sehingga pemerintah bisa serius dalam menangani permasalahan perdagangan gelap narkotika dan menyelamatkan para pengguna narkotika
  3. Perlu adanya perbaikan segera dalam ketentuan pidana narkotika khususnya yang berkaitan dengan pebuatan memiliki, menyimpan, menguasai, membeli, membawa narkotika karena perbuatan tersebut juga dilakukan oleh para pengguna narkotika;
  4. Perlu adanya pola sinergitas antar instansi pelaksana kebijakan narkotika didalam UU Narkotika sehingga tidak terjadi overlapping dan mengukur kinerja berdasarkan jumlah tangkapan, jumlah barang bukti atau jumlah orang yang lepas dari ketergantungan;
  5. Perlu dilalakukan rekonsep terkait rehabilitasi, bahwasanya rehabilitasi tidak dapat dimasukan sebagai upaya penyembuhan namun lebih kepada upaya pemulihan. Pengguna narkotika juga diberikan kebebasan dan peluang seluas-luasnya dalam mengikuti atau memilih upaya pemulihan.

[1] P4GN adalah program pemerintah untuk melakukan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peerdaran Narkotika

[2] Pernyataan tersebut dikutip oleh media Okezone news pada 11 Juni 2011 dengan link berita http://news.okezone.com/read/2011/06/08/339/465944/bnn-canangkan-indonesia-bebas-narkoba-tahun-2015

[3] Pernyataan tersebut disampaikan oleh kepala BNN yang dikutip sindonews.com dan diberitakan dengan link : https://nasional.sindonews.com/read/941041/15/bnn-sebut-2014-tahun-darurat-narkoba-1419310177

[4] Pasal 4 huruf c dan d UU RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

[5] Pasal 1 angka 6 UU RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

[6] Berdasarkan penjelasan Pasal 54 ayat (1) UU Narkotika, yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika

[7] Pasal 153 huruf b menyebutkan lampiran mengenai jenis Psikotrika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam lampiran UU No 5 Tahun 1997, yang telah dipindahkan menjadi narkotika golongan I menuru UU ini.

[8] Pasal 1 ayat (22) UU Narkotika

[9] Pernyataan kepala BNN pada November 2015 jumlah pengguna naik  menjadi 5,9 juta  orang http://regional.kompas.com/read/2016/01/11/14313191/Buwas.Pengguna.Narkoba.di.Indonesia.Meningkat.hingga.5.9.Juta.Orang

Tembak di Tempat: Kebijakan Penanganan Narkotika yang Salah Arah

tembak ditempatSepanjang tahun 2017, sedikitnya terdapat 79 orang yang ditembak mati oleh penegak hukum karena alasan terlibat kasus narkotika. Berdasarkan data Amnesty International, dari 1 Januari hingga pertengahan Agustus 2017, setidaknya ada 60 nyawa yang ditembak mati saat penindakan oleh penegak hukum, baik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) maupun Badan Narkotika Nasional (BNN). Pada Desember 2017, dengan bangganya Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Budi Waseso menyatakan telah menembak mati 79 orang. Dalam pernyataanya Budi Waseso menyatakan “Sebenarnya amunisi kita cukup. Tapi mereka nasibnya baik. Saya sih berharap mereka melawan agar amunisi kita terpakai.”

Pola penanganan permasalahan narkotika melalui cara kekerasan dengan penggunaan senjata api sebagaimana disamapaikan pemimpin negara kepala institusi pelaksana sebagaimana  mendorong penggunaan senjata api menjadi sarana penegakan hukum bukan terbatas pada upaya perlindungan penegak hukum ketika menjalankan tugas. Kondisi tersebut diperburuk karena sistem pengawasan pengguna senjata api tidak transparan. PBHI-PKNI-LBH Masyarakat menginisiasi pembentukan kajian kebijakan yang ditaungkan dalam tulisan Tembak di Tempat: Kebijakan Narkotika yang Salah Arah, untuk lengkapnya silahkan nikmati tulisan tersebut dengan mengunduh Policy Paper – Narkotika – Tembak di Tempat – PBHI LBHM PKNI

 

Ibadah Qurban dan Pelaksanaan Probono Advokat

fb_img_1473318737899Setiap tanggal 10 bulan Dzulhijah, umat muslim di dunia merayakan hari raya Idul Adha. Terdapat dua momentum besar pada Hari raya Idul Adha yakni Ibadah haji dan Ibadah Qurban. Sejarah Ibadah Qurban pada Hari raya Idul Adha secara singkat dan jelas diuraikan dalam Al Quraan surat Ash Shaffaat  ayat 100 – 110, yang menceritakan bagaimana Allah SWT Menguji Nabi Ibrahim AS dengan meminta Nabi Ibrahim menyembelih anak yang diidam-idamkannya, ketika Nabi Ibrahim AS ingin menyembelih anaknya, Allah SWT menukarnya dengan hewan sembelihan yang besar. Pada Surat Al Kautsar ayat 1 -2, Allah SWT berfirman “Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah sholat karena TuhanMu dan Berkorbanlah”.

Menurut Nurcholis Madjid, dalam bentuknya yang kongkret, esensi ibadah kurban adalah tindakan yang disertai pandangan jauh kedepan, yang menunjukan bahwa kita tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenanangan sementara, kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selama-lamanya. Apa yang dicontohkan Nabi Ibrahim AS merupakan contoh seorang manusia yang mampu meninggalkan lambing kesenanganan dan kebahagiaan sesaat dan sementara. Sebab Ibrahim tahu dan yakin akan adanya kebahagiaan abadi dalam ridha ilahi (dikutip dari : Blogs Imammadura)

Menurut Lismanto dalam tradisi qurban selain mengandung dimensi ibadah juga memiliki makna dimensi social. Ibadah Qurban sudah jelas menjadi bentuk ketaatan hamba kepada Tuhannya. Ketaatan itu harus dilandasi dengan rasa ikhlas sepenuhnya, sehingga kita menjadi dekat dengan Allah. Hal inilah yang dimaksud qurban dalam pengertian ibadah, yakni qarib. Sementara dimensi sosial dalam tradisi qurban sudah bisa dibaca dengan kasat mata bahwa ibadah qurban memberikan kesejahteraan kepada lingkungan sosial berupa daging kurban yang notabene hanya bisa dijangkau kalangan elite. “Ini berlaku di desa, bukan di kota-kota yang memang sudah terbiasa makan daging. Dengan qurban dari perspektif sosial, ini menjadi bagian dari ketakwaan kita kepada Allah secara horizontal,” Jadi, Allah selalu memerintah hamba-Nya untuk selalu mengharmonisasikan antara ibadah vertikal (hablum minallah) dan ibadah horizontal (hablum minannas). Keduanya berjalan beriringan tanpa ada sekat dan harus senantiasa berdialektika. Esensi dari qurban itu sendiri adalah bagaimana kita dilatih untuk untuk tidak tamak, rakus atas apa yang dimiliki, karena itu merupakan Titipan Allah SWT. Pembagian hewan qurban kepada orang yang membutuhkan mengajarkan Kita bahwasanya kita harus berbagi kepada orang yang membutuhkan.(dikutip dari islam cendikia.com)

Jpeg

Jpeg

Bagi seorang pengacara (advokat), harta yang berharga selain kekayaan adalah kemampuan dalam pemberian jasa hukum dan “waktu” pemberian jasa hukum. Kemampuan hukum seorang advokat memiliki manfaat yang tinggi dan seringkali dibandingkan dengan nilai ekonomi yang tinggi. Beberapa Advokat mendapatkan imbalan/honor mencapai lebih dari 300 USD/ perjam, untuk setiap jasa hokum yang diberikan. Para advokat lebih senang menghabiskan waktu mereka untuk mengeruk honor dari jasa hokum dan seringkali mereka tidak memiliki waktu dan tenaga untuk membantu masyarakat yang tidak bisa membayar biaya jasa  hukum.

Esensi ibadah Qurban bagi seorang advokat tidak hanya dimaknai dengan penyembelihan hewan qurban yang bisa didapat dengan 1 minggu  berkerja. Para advokat diharapkan dapat mengorbankan waktu dan kemampuan hukumnya untuk membantu membantu masyarakat yang tidak mampu, khususnya ketika mereka sedang mengalami permasalahan hukum atau sering dikenal dengan istilah probono.

Ibadah Qurban dan Probono memiliki kesamaan, keduanya mengajarkan kita harus ikhlas memberikan waktu, tenaga, pengetahuaan dan pengalaman kepada masyarkat atau orang yang membutuhkan, sebagai bagian dari nilai ibadah. Allah SWT dalam surat Al Araf berfirman “Dan diatara orang orang yang kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu mereka menjalankan keadilan”.Pada surat yang sama Allah SWT memerintahkan Kita untuk menegakan keadilan, “katakanlah : “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan. Dan (katakanlah) “Luruskanlah muka mu disetiap sholat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan” (ayat 181)

fb_img_1473357912111Melalui Probono kita tidak diajarkan untuk menjadi seorang advokat yang tamak yang mementingkan kepentingan klien, namun juga memiliki manfaat dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam  bersabda: “Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.”

“Semoga kita selalu mendapat petunjuk untuk tetap berada di jalan yang lurus”

 

Tuntutan Kerugian Ratusan Juta, Bila Terjadi Penangkapan dan Penahanan Sewenang Wenang

Screenshot_2015-12-14-23-45-34Pada 8 Desember 2015, Pemerintah mengeluarkan PP No 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua PP No 27 Tahun 1983. Perubahan dikhususkan pada nilai ganti rugi karena penangkapan, penahan sewenang wenang, tidak sesuai peraturan perundang-undangan atau salah orang. Apabila sebelumnya melalui PP No 27/1983 ganti kerugian maksimal Rp. 3.000.000, melalui PP No 92/2015 ganti kerugian yang diminta dapat mencapai Rp. 300.000.000 dan bila mengakibatkan kematian dapat menuntut ganti rugi sampai Rp. 600.000.000

Berikut soft file PP No 92 Thn 2015

Ketentuan Narkotika dalam RKUHP (Lagu Lama Cover Baru)

Tags

, , , , , , , , ,

AnggaraRancangan KUHP yang saat ini sedang dibahas oleh DPR RI mendapat perhatian publik. Model yang digunakan oleh RKUHP adalah mengkompilasi berbagai ketentuan pidana diluar KUHP dengan metode “copy paste”. Salah satunya adalah ketentuan mengenai tindak pidana narkotika dan psikotropika yang sebelumnya diatur dalam UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Ibarat pepatah, “Lagu lama cover baru” ketentuan pidana narkotika dan psikotropika dalam RKUHP tidak menyelesaikan permasalahan kebijakan narkotika saat ini yang tidak hanya mengkriminalisasi pengguna namun overkriminalisasi pengguna dengan penerapan ketentuan “memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika tanpa hak atau melawan hukum” dengan pemberian ancaman hukuman minimal ditambah denda yang tinggi. Permasalahan ini coba dituliskan dalam kertas posisi oleh alinasi nasional reformasi KUHP  dan kertas posisinya bisa di download disini

Pengguna Narkotika, Penjara atau Rehabilitasi?

Tags

, , , , , , ,

Sedang asik nongkrong di PKNI ada telepon dari Kompas TV minta perwakilan PKNI hadir untuk talkshow terkait kebijakan narkotika yang dibuat oleh Budi Waseso (Ketua BNN), setelah kordinasi dengan para bos-bos PKNI akhirnya mendapat restu untuk ikut talk show tersebut, karena sedikit mendadak akhirnya menyampaikan apa yang diketahui. Walaupun waktuya sedikit semoga pesan agar pemerintah lebih memberikan dukungan bagi pengguna narkotika dan menjauhkan mereka dari pemenjaraan tercapai.

Pendampingan Hukum Pengguna Narkotika (Panduan Singkat)

Tags

, , , , , , , , , , , ,

Pendampingan Hukum Pengguna Narkotika

Pendampingan Hukum Pengguna Narkotika

Saya bukan pengacara yang spesialis menangani perkara narkotika. Saya yakin banyak orang yang kemampuannya lebih handal dalam mendampingi perkara narkotika. Saya hanya beberapa kali menangani perkara narkotika dan senang mengkritisi kebijakan perang terhadap narotika khususnya yang menyasar pada pengguna narkotika / penyalahguna narkotika. Pada suatu waktu rumah cemara meminta saya untuk sharing pengetahuaan dan pengalaman penanganan kasus narkotika dan menjadi konsultan hukum paralegal dibawah komunitas PKNI. Dengan segala keterbatasan saya menyetujui untuk membuat buku panduan pendampingan hukum pengguna narkotika.

Awalnya buku tersebut ditujukan untuk paralegal namun setelah banyak diskusi dengan rekan-rekan pengacara, mereka seringkali “hopeless” dalam melakukan pendampingan kasus narkotika sampai ada yang bilang, “gak mungkin bisa bro dapatin 127 apalagi rehabilitasi, kalau gak main sama polisi atau hakim”. Padahal dalam prakteknya paralegal yang dilakukan komunitas PKNI seringkali kasus yang didampinginya dihentikan proses hukumnya berkat kemampuan diplomasi dan penyajian bukti kesehatan dampingannya. Pada akhirnya saya putuskan untuk membuat buku singkat ini bagi semua kalangan Advokat, paralegal, keluarga atau kerabat yang memang berniat melakukan pendampingan bagi pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum. Sayangnya  Saya hanya penulis dan tidak memiliki otoritas untuk melakukan distribusi buku tersebut, bila ada yang berminat dapat menghubungi rumah cemara atau PKNI  

Semoga buku ini dapat bermanfaat menambah literature dalam membantu pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum