Pada saat dilakukan peluncuran program P4GN[1] pada Juni 2011, BNN menargetkan Indonesia Bebas Narkotika pada tahun 2015[2], namun pada akhir tahun 2014 BNN menyatakan Indonesia darurat Narkotika[3]. Pada tahun tahun selanjutnya hingga saat ini Kamapanye Indonesia darurat narkoba terus menerus digalakan tanpa ada pihak yang peduli kenapa dahulu Pemerintah menargetkan Indonesia akan bebas narkotika pada tahun 2015, namun pada akhir tahun 2014 langsung menyatakan Indonesia darurat narkotika.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan ketika melakukan pendampingan kasus dan melakukan advokasi kebijakan narkotika, salah satu kendala mengatasi permasalahan narkotika, bukan hanya terletak pada perangkatnya dan budaya masyarakat, namun juga pada tingkat pengaturannya UU Narkotika memiliki permasalahan, hal ini dapat dilihat dari

  1. UU Narkotika tidak bisa membedakan antara pengguna narkotika dengan pengedar narkotika;
  1. Secara konsep UU Narkotika memasukan pengguna narkotika kedalam peredaran narkotika yang perlu diberantas

Mengacu pada tujuannya, UU Narkotika bertujuan untuk “Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi Penyalahguna dan Pecandu Narkotika”[4]. Secara tujuan UU Narkotika berkesan membedakan antara pelaku peredaran gelap narkotika dengan pengguna narkotika, namun bila mengacu pada konsep peredaran gelap narkotika didalam UU Narkotika disebutkan “Peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika”[5]. Mengacu pada pengertian Peredaran Gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika lebih ditekankan pada tindakan yang ditatapkan sebagai tindak pidana dalam UU Narkotika, termasuk didalamnya adalah penyalahguna narkotika yang merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika;

  • Penyalahguna narkotika dihalang-halangi untuk mendapatkan hak rehabiliasi dengan memasukan pengertian korban penyalahgunaan narkotika[6]

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, UU Narkotika bertujuan untuk menjamin pengaturan rehabilitasi kepada para pecandu dan penyalahguna narkotia. Pada pengaturan tentang hak rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 54, menghilangkan penyalahguna dan mengganti korban penyalahguna narkotika, dengan arti dan konsep yang berbeda. Tanpa adanya jaminan kepastian penyalahguna mendapatkan rehabilitasi, secara  tidak langsung UU Narkotika menempatkan pengguna narkotika sebagai pelaku perdagangan gelap narkotika yang perlu diberantas.

  • Pengguna narkotika didakwakan dengan pasal perdagangan gelap narkotika dengan pemberian hukuman yang tidak sesuai dengan perbuatanya.

Sebagai seorang pengguna narkotika, untuk menggunakan narkotika sebelumnya harus mendapatkan narkotika baik dengan cara membeli, menaman atau menerima narkotika, kemudian narkotika tersebut dibawa dalam penguasaanya, memiliki, atau menyimpan nakotika baru kemudian menggunakan narkotika. Pada umumnya pengguna narkotika ditangkap sebelum menggunakan narkotika, dakwaan penuntut umum yang digunakan adalah Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 114 ayat (1), karena ditemukan barang bukti berupa narkotika bukan tanaman dikantong Terdakwa dan berdasarkan keterangan Terdakwa narkotika tersebut diperoleh dengan cara membeli sebesar Rp….. kepada si Fulan (DPO). Aparat penegak hukum dan hakim yang memeriksa perkara tidak lagi melihat tujuan dari pembeliaan, penguasaan, pemilikan atau menyimpan narkotika, karena dalam ketentuan tersebut tidak dimasukan unsur kesengajaan.

  • UU Narkotika bermaksud memasukan semua jenis zat berbahaya kedalam golongan narkotika;

Sebelum disahkannya UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, beberapa zat yang masuk kategori amphetamin diatur didalam UU Psikotropika kemudian dimasukan kedalam golongan I narkotika.[7] . Dapak terbesar dari penyatuan golongan tersebut menimbulkan kesulitan penanganan dalam bidang kesehatan jenis zat narkotika opiate berbeda penangannya dengan jenis zat amfetamin karena dampaknya berbeda. Penyatuan golongan mengakibatkan masyarakat tidak bisa membedakan mana yang narkotika dan psikotropika.

  • Minimnya pengaturan pola kerjasama instansi dalam mengatasi permasalahan narkotika.

Sejak Indonesia mengatur narkotika dalam peraturan perundangan-undangan, narkotika selalu dimasukan kedalam ranah kesehatan, hal ini dapat dilihat dari menteri yang bertanggung jawab dalam mengatasi permasalahan narkotika adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan[8]. Narkotika merupakan permasalahan tata kelola pembuatan dan pendistribusian hal tersebut dibawah kendali atau control dari Menteri Kesehatan sebagaimana disebutkan sejak Pasal 9 sampai dengan Pasal 63. Selain menteri kesehatan UU Narkotika memasukan Badan Narkotika Nasional yang melakukan pencegahan dan pemberantasan. BNN diberikan kewenangan melakukan penyidikan dan berbagai upaya paksa yang erat hubungannya dengan kerja-kerja penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Terkait dengan masalah rehabilitasi, UU Narkotika memasukan Kementerian Sosial. Setidaknya ada 7 instansi yang mengurusi masalah narkotika. UU Narkotika tidak secara jelas dan terang mengatur pola kerjasamanlintas instansi, saat ini BNN mengambil posisi dominan namun hal tersebut kurang didukung oleh instansi lainya.

Perubahan UU Narkotika, Suatu Momentum Perubahan Kebaikan atau Kegagalan ?

Sejak pemerintah mencanangkan Indonesia darurat narkotika, parlement memasukan Revisi UU Narkotika kedalam Program Legislatif Nasional periode 2015 – 2019. Pada awalnya inisiatif perubahan ada pada DPR, namun pada perkembangannya, DPR menyerahkan iniasisi perubahan kepada pemerintah. Saat ini BNN yang mengambil alih penyusunan naskah akademik dan RUU Narkotika. Sampai saat ini belum terdapat informasi jelas mengenai arah perubahan UU Narkotika. Melihat perubahan-perubahan kebijakan narkotika sejak UU No 9 Tahun 1976 sampai dengan UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak banyak perubahan yakni lebih dominan menggunakan pendekatan pemidanaan khususnya untuk mengontrol penggunaan narkotika, dengan menambahkan varian-varian.

Pendekatan kriminalisasi memiliki dampak terusan yang buruk. Pengguna narkotika yang sebelumnya produktif bekerja akan kehilangan pekerjaan dan sulit mendapatkan pekerjaan ketika mendapatkan cap kriminal. Kriminalisasi terhadap pengguna berdampak pada overkapasitas diempat penahanan, dan menjamurnya penggunaan narkotika didalam lembaga pemasyarakatan.

Salah satu yang perlu diwaspadai adalah perubahan inisiatif penyusunan naskah akademik dan RUU Narkotika dari parlement kepada eksekutif, yakni pada umumnya regulasi yang diusulkan eksekutif lebih bertujuan untuk meningkatkan kewenangan dan meminimalisir adanya pengawasan. Pada pertengahan tahun 2016, muncul wacana BNN akan menjadi setingkat kementerian dan upaya BNN mendapatkan dana cepat melalui tindak pidana pencucian uang, sedangkan untuk isu pengguna narkotika berpotensi tidak ada perubahan.

Pada revisi RKUHP, pemerintah memasukan ketentuan tindak pidana narkotika kedalam RKUHP.  Pasal 507 – Pasal 525 RKUHP diambil secara mentah-mentah dari tindak pidana narkotika didalam UU Narkotika. Apabila ketentuan tersebut disahkan oleh DPR, maka dapat dipastikan hal tersebut akan membawa dampak buruk bagi pengguna narkotia. Aparat penegak hukum tidak akan memahami esensial kebijakan narkotika bila hanya membaca KUHP. Permasalahan kebijakan narkotika diperparah dengan tetap dilanggengkannya penerapan rehabilitasi sebagai suatu pidana tambahan dan bukan pidana alternative, artinya seroang pengguna narkotika yang harusnya mendapatkan rehabilitasi harus menjalani hukuman terlebih dahulu baru bisa mendapatkan rehabilitasi.

Dengan pertimbangan Indonesia memiliki 5,9 juta pengguna narkotika[9] dan permasalahan overkapasitas ditempat penahanan Indonesia membutuhkan segera perubahan dalam kebijakan narkotika, khususnya terkait :

  1. Perlu adanya evaluasi dan restrategi dari penerapan kebijakan perang terhadap narkotika dengan melihat dampak positif dan negative bagi pengguna narkotika, pemerintah harus membuka diri atas tawaran alternative perang terhadap narkotika sebagaimana yang banyak diterapkan;
  2. Harus adanya pemisahan yang jelas antara pengguna dan pengedar narkotika, sehingga pemerintah bisa serius dalam menangani permasalahan perdagangan gelap narkotika dan menyelamatkan para pengguna narkotika
  3. Perlu adanya perbaikan segera dalam ketentuan pidana narkotika khususnya yang berkaitan dengan pebuatan memiliki, menyimpan, menguasai, membeli, membawa narkotika karena perbuatan tersebut juga dilakukan oleh para pengguna narkotika;
  4. Perlu adanya pola sinergitas antar instansi pelaksana kebijakan narkotika didalam UU Narkotika sehingga tidak terjadi overlapping dan mengukur kinerja berdasarkan jumlah tangkapan, jumlah barang bukti atau jumlah orang yang lepas dari ketergantungan;
  5. Perlu dilalakukan rekonsep terkait rehabilitasi, bahwasanya rehabilitasi tidak dapat dimasukan sebagai upaya penyembuhan namun lebih kepada upaya pemulihan. Pengguna narkotika juga diberikan kebebasan dan peluang seluas-luasnya dalam mengikuti atau memilih upaya pemulihan.

[1] P4GN adalah program pemerintah untuk melakukan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peerdaran Narkotika

[2] Pernyataan tersebut dikutip oleh media Okezone news pada 11 Juni 2011 dengan link berita http://news.okezone.com/read/2011/06/08/339/465944/bnn-canangkan-indonesia-bebas-narkoba-tahun-2015

[3] Pernyataan tersebut disampaikan oleh kepala BNN yang dikutip sindonews.com dan diberitakan dengan link : https://nasional.sindonews.com/read/941041/15/bnn-sebut-2014-tahun-darurat-narkoba-1419310177

[4] Pasal 4 huruf c dan d UU RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

[5] Pasal 1 angka 6 UU RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

[6] Berdasarkan penjelasan Pasal 54 ayat (1) UU Narkotika, yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika

[7] Pasal 153 huruf b menyebutkan lampiran mengenai jenis Psikotrika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam lampiran UU No 5 Tahun 1997, yang telah dipindahkan menjadi narkotika golongan I menuru UU ini.

[8] Pasal 1 ayat (22) UU Narkotika

[9] Pernyataan kepala BNN pada November 2015 jumlah pengguna naik  menjadi 5,9 juta  orang http://regional.kompas.com/read/2016/01/11/14313191/Buwas.Pengguna.Narkoba.di.Indonesia.Meningkat.hingga.5.9.Juta.Orang