Seorang teman yang baru mengikuti ujian advokat 5 November lalu, mendatangi Saya ketika menunggu sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Karena tidak ada kejelasan, kapan sidang dimulai, Saya menerima ajakan teman tersebut untuk minum dikantin, sebelah ruang tahanan PN Jakarta Pusat. Dia berterimakasih untuk soal-soal dan contoh surat kuasa dan gugatan yang saya taruh di Blogs ini, lebih lanjut Dia menceritakan Ujian Advokat tahun ini adalah ujian kedua, setelah sebelumnya gagal dan terpaksa harus mengulang. Ketika saya menanyakan bagaimana soalnya, dengan enteng Dia menjawab, soalnya sih gak susah-susah amat Bang, memang banyak pertanyaan yang menjebak, namun yang paling dikhawatirkannya adalah kabar bahwa nilai untuk lulus ujian, lebih tinggi daripada ujian tahun 2010, belum lagi konflik antara PERADI dengan KAI sepertinya berakhir dan Pemerintah lebih mengakui PERADI, khususnya di Kota-Kota besar.

Setelah sekian panjang Saya mendengar cerita, sambil meminum fanta. Saya kaget ketika tiba-tiba Dia bilang, bisa gak Abang mengirimkan surat ke PERADI agar saya diluluskan atau setidaknya kenalkanlah sama orang-orang yang memiliki “power” atau lembaga apalah agar mengirimkan surat agar diluluskan ujian advokat tahun ini. Saya menanggapi permintaan tersebut dengan senyum pahit. Saya langsung berkomentar, tidak perlulah surat-surat atau keterangan agar diluluskan ujian advokat, takutnya dengan surat keterangan / surat permintaan tersebut malah akan menyusahkan dan merendahkan martabat. Bisa jadi memang dirimu lulus ujian advokat, namun karena surat tersebut malah bikin enggak lulus ujian advokat. Bisa juga ketika dirimu menjadi Advokat yang hebat, lawan advokatmu akan membeberkan surat sakti tersebut, padahal dirimu memang lulus advokat. Lagian percaya deh gak perlu surat-surat seperti itu untuk lulus ujian, kalau sudah lulus minta dipercepat keluar izin sementara atau minta segera dilantik itu sudah banyak yang melakukan, kalau minta untuk diluluskan mending dibuang jauh-jauh pikiran tersebut, mending Loe Nazar (meminta kepada Tuhan dengan janji tertentu), misal minta lulus ujian, kalau lulus loe kasih 2,5 % penghasilan loe ke LBH, anak yatim, dll atau setidaknya loe sediakan waktu untuk bantuan hukum geratis.

Saya coba angkat dirinya dengan bilang, Loe selama ini udah praktek walau masih ngumpet-ngumpet, dah mempersiapkan secara khusus ujian advokat, apalagi ini ujian kedua jadi gak perlu khawatir enggak lulus. Wajahnya memang lebih cerah, namun kekhawatiran masih terbesit dimukanya.  Saya langsung mengakhiri pembicaraan tersebut, dan langsung membayar biaya minuman saya dan teman saya tersebut.

Kekhawatiran, berbagai orang yang mengikuti ujian advokat tahun ini, pernah juga saya rasakan. Bukan karena kekhawatiran kalau tidak lulus tidak bisa ikut sidang, dua tahun sebelum saya ikut PKPA saya sudah mengenakan toga untuk membela kasus pidana, atau duduk mewakili pemberi kuasa untuk kasus perdata, memang praktek di organisasi bantuan hukum mewajibkan kita siap ketika sang advokat berhalangan hadir dalam persidangan. Kekhawatiran saya yang paling utama adalah dengan rekan-rekan seangkatan saya yang mengikuti ujian advokat baik dikantor maupun sesame jaringan, selain waktu yang terbuang dan biaya yang lumayan bagi saya yang beraktifitas di organisasi bantuan hukum. Namun cara-cara meminta seseorang/lembaga untuk meluluskan tidak pernah terbesit dan memang tidak mau. Saya cukup meminta kepada Tuhan dengan memberikan janji yang baik apabila dikabulkan, dan beberapa janji tersebut masih dijalankan dan beberapa sudah dilakukan.